Entah sudah berapa lama mereka tidur - tiduran santai. Hal berikutnya yang mereka ingat, adalah pemandangan yang sama sekali tidak mereka duga. Yang pertama kali menyadari hal ini adalah Frey. Insting nya memang lebih tajam dibanding yang lain, dan begitu kesadarannya kembali, ia cuma bisa terpana sambil membangunkan yang lain perlahan, agar mereka tidak panik.
Frey melangkah ke hamparan pasir di depan matanya. Sambil masih terdiam, ia mengambil sejumlah pasir yang di depan kakinya, merasakannya perlahan, dan berharap ia hanya bermimpi. Lexy yang kemudian menghampiri dan meremas bahu Frey. Berusaha menenangkan 'pimpinan' mereka itu.
"Aku sama sekali tidak merasakan apa pun.." gumam Frey akhirnya. "Sama sekali tidak ingat.. dan sama sekali tidak tau kapan kita tertidur, atau apa pun itu."
"Hei.. itu bukan tanggung jawab mu 'kan? Kita semua, masing - masing dari kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Jadi bukan salah mu kalau tiba - tiba kita 'terlempar' lagi ke padang pasir ini."
Tapi Frey terlihat tidak puas dengan balasan Lexy. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Lexy yang tau hal itu, langsung mundur dan menyerahkan Frey pada Freya.
Pemandangan di depan mata mereka memang begitu tidak enak dipandang. Padang pasir luas, tanpa sinar matahari yang menyengat, tanpa angin. Tapi penuh dengan potongan - potongan, baik itu potongan tanaman, perkakas, bahkan tubuh manusia. Sama sekali bukan pemandangan yang layak dilihat oleh kelima bocah itu.
Mir yang tidak tahan melihat hal seperti itu, cuma bisa duduk tertunduk sambil memegangi lengan baju Ren. Di sebelah mereka, Lexy memasang mata tajam ke sekelilingnya, entah mencari apa, yang jelas ia begitu tertarik pada tempat ini. Sampai sejauh ini, tempat yang mereka kunjungi adalah tempat di mana mereka dulu tinggal. Rumah Ren dan Mir, Eve Corner miliknya, terakhir adalah kamar Freya.
"Hei, Frey..." panggil Lexy. "Kau.. yakin tidak mau bercerita?"
"Ngomong apa kau Lex? Ini bukan saat nya untuk itu tau-" omel Ren, yang langsung dihentikan oleh Lexy.
Frey sama sekali tidak menjawab panggilan Lexy. Ia masih saja berlutut sambil memainkan pasir di dekat kakinya. Freya yang sepertinya tau apa maksud Lexy, langsung memeluk kembarannya itu dengan lembut.
"Tempat ini.. adalah Sands of Time." ujar Frey akhirnya setelah melepas pelukan Freya. "Semua yang hilang termakan oleh waktu, akan dipindahkan, atau tepatnya, dibuang ke tempat ini."
"Apa hubungan tempat ini denganmu?" selidik Lexy.
"... di tempat ini... aku membuang 'rasa percaya'..." Jawaban Frey tidak memberi penjelasan apapun, tapi Lexy tetap diam, menunggu lanjutannya. Dan Frey segera bercerita kembali.
Kejadian itu terjadi 3 tahun yang lalu, saat Frey pertama kali 'melarikan diri'. Demi membawa Frey kembali ke rumah, kedua orang tuanya rela melakukan apapun. Termasuk membawa nama Freya. Satu kali, mereka membawa kabar bahwa 'perusahaan' bangkrut, dan mereka tidak tau harus berbuat apa. Tapi Frey tidak terisolasi dengan dunia luar, sehingga ia tau bahwa kedua orang tuanya cuman bohong.
Dua kali, saat Frey sedang pulang ke rumah, ia tiba - tiba dikunci di kamarnya sendiri. Dan sekali lagi, Frey bisa lolos, lewat jendela kamarnya yang terhubung ke kamar Freya. Sampai saat itu, Frey masih mengira bahwa itu hanya keusilan kedua orang tuanya saja. Sampai insiden terakhir terjadi.
Saat itu, Frey baru saja membelikan HP untuk Freya, dan suatu keharusan bahwa HP itu harus selalu aktif. Suatu kali, Frey sama sekali tidak bisa menghubungi Freya. Insting nya pun mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tepat saat itu, kedua orang tuanya kembali datang. Freya kecelakaan. Begitu kata mereka. Dengan panik, Frey meluncur ke House Hospital. Tapi sebelum sampai di tempat, 'sesuatu' di dalam kepalanya memanggil berulang - ulang. Meminta Frey untuk pulang ke rumah.
Benar saja, Frey mendapati Freya kehabisan napas gara - gara kamarnya diisolasi. Oleh kedua orang tuanya. HP Freya disembunyikan, sehingga ia tidak bisa menghubungi siapa - siapa.
"Shock. Cuma itu yang kurasakan. Satu minggu berturut - turut aku terus berada di sebelah Freya, yang kubawa ke kontrakanku. Antara sadar dan tidak, hampir setiap hari aku melihat padang pasir ini. Sampai akhirnya aku mengerti, ini adalah tempat orang membuang sesuatu dalam dirinya. Dalam kasusku, aku membuang 'rasa percaya pada orang lain'. Terutama orang tua ku."
"Anehnya, walaupun aku tidak sadar, aku bisa melihat apa yang dilihat Frey," lanjut Freya. "Makanya aku tidak heran saat melihat Sands of Time ini."
"Apa aku juga bisa membuang sesuatu di sini?" tanya Ren memecah keheningan. Frey cuma mengangguk. "Aku ingin membuang 'rasa takut'." Jawaban mantap Ren cukup untuk membuat Mir mengangkat kepalanya, dan mengatakan hal yang sama.
Frey cuma bisa tersenyum tipis. Berbagai pikiran buruk sudah memenuhi benaknya beberapa saat tadi. Membuang 'rasa percaya' sama saja dengan 'tidak percaya pada siapa pun'. Tapi nyatanya, ketiga temannya ini sama sekali tidak keberatan. Satu hal ini membuat Frey begitu nyaman, untuk yang pertama kalinya sejak 3 tahun yang lalu.
Frey melangkah ke hamparan pasir di depan matanya. Sambil masih terdiam, ia mengambil sejumlah pasir yang di depan kakinya, merasakannya perlahan, dan berharap ia hanya bermimpi. Lexy yang kemudian menghampiri dan meremas bahu Frey. Berusaha menenangkan 'pimpinan' mereka itu.
"Aku sama sekali tidak merasakan apa pun.." gumam Frey akhirnya. "Sama sekali tidak ingat.. dan sama sekali tidak tau kapan kita tertidur, atau apa pun itu."
"Hei.. itu bukan tanggung jawab mu 'kan? Kita semua, masing - masing dari kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Jadi bukan salah mu kalau tiba - tiba kita 'terlempar' lagi ke padang pasir ini."
Tapi Frey terlihat tidak puas dengan balasan Lexy. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Lexy yang tau hal itu, langsung mundur dan menyerahkan Frey pada Freya.
Pemandangan di depan mata mereka memang begitu tidak enak dipandang. Padang pasir luas, tanpa sinar matahari yang menyengat, tanpa angin. Tapi penuh dengan potongan - potongan, baik itu potongan tanaman, perkakas, bahkan tubuh manusia. Sama sekali bukan pemandangan yang layak dilihat oleh kelima bocah itu.
Mir yang tidak tahan melihat hal seperti itu, cuma bisa duduk tertunduk sambil memegangi lengan baju Ren. Di sebelah mereka, Lexy memasang mata tajam ke sekelilingnya, entah mencari apa, yang jelas ia begitu tertarik pada tempat ini. Sampai sejauh ini, tempat yang mereka kunjungi adalah tempat di mana mereka dulu tinggal. Rumah Ren dan Mir, Eve Corner miliknya, terakhir adalah kamar Freya.
"Hei, Frey..." panggil Lexy. "Kau.. yakin tidak mau bercerita?"
"Ngomong apa kau Lex? Ini bukan saat nya untuk itu tau-" omel Ren, yang langsung dihentikan oleh Lexy.
Frey sama sekali tidak menjawab panggilan Lexy. Ia masih saja berlutut sambil memainkan pasir di dekat kakinya. Freya yang sepertinya tau apa maksud Lexy, langsung memeluk kembarannya itu dengan lembut.
"Tempat ini.. adalah Sands of Time." ujar Frey akhirnya setelah melepas pelukan Freya. "Semua yang hilang termakan oleh waktu, akan dipindahkan, atau tepatnya, dibuang ke tempat ini."
"Apa hubungan tempat ini denganmu?" selidik Lexy.
"... di tempat ini... aku membuang 'rasa percaya'..." Jawaban Frey tidak memberi penjelasan apapun, tapi Lexy tetap diam, menunggu lanjutannya. Dan Frey segera bercerita kembali.
Kejadian itu terjadi 3 tahun yang lalu, saat Frey pertama kali 'melarikan diri'. Demi membawa Frey kembali ke rumah, kedua orang tuanya rela melakukan apapun. Termasuk membawa nama Freya. Satu kali, mereka membawa kabar bahwa 'perusahaan' bangkrut, dan mereka tidak tau harus berbuat apa. Tapi Frey tidak terisolasi dengan dunia luar, sehingga ia tau bahwa kedua orang tuanya cuman bohong.
Dua kali, saat Frey sedang pulang ke rumah, ia tiba - tiba dikunci di kamarnya sendiri. Dan sekali lagi, Frey bisa lolos, lewat jendela kamarnya yang terhubung ke kamar Freya. Sampai saat itu, Frey masih mengira bahwa itu hanya keusilan kedua orang tuanya saja. Sampai insiden terakhir terjadi.
Saat itu, Frey baru saja membelikan HP untuk Freya, dan suatu keharusan bahwa HP itu harus selalu aktif. Suatu kali, Frey sama sekali tidak bisa menghubungi Freya. Insting nya pun mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Tepat saat itu, kedua orang tuanya kembali datang. Freya kecelakaan. Begitu kata mereka. Dengan panik, Frey meluncur ke House Hospital. Tapi sebelum sampai di tempat, 'sesuatu' di dalam kepalanya memanggil berulang - ulang. Meminta Frey untuk pulang ke rumah.
Benar saja, Frey mendapati Freya kehabisan napas gara - gara kamarnya diisolasi. Oleh kedua orang tuanya. HP Freya disembunyikan, sehingga ia tidak bisa menghubungi siapa - siapa.
"Shock. Cuma itu yang kurasakan. Satu minggu berturut - turut aku terus berada di sebelah Freya, yang kubawa ke kontrakanku. Antara sadar dan tidak, hampir setiap hari aku melihat padang pasir ini. Sampai akhirnya aku mengerti, ini adalah tempat orang membuang sesuatu dalam dirinya. Dalam kasusku, aku membuang 'rasa percaya pada orang lain'. Terutama orang tua ku."
"Anehnya, walaupun aku tidak sadar, aku bisa melihat apa yang dilihat Frey," lanjut Freya. "Makanya aku tidak heran saat melihat Sands of Time ini."
"Apa aku juga bisa membuang sesuatu di sini?" tanya Ren memecah keheningan. Frey cuma mengangguk. "Aku ingin membuang 'rasa takut'." Jawaban mantap Ren cukup untuk membuat Mir mengangkat kepalanya, dan mengatakan hal yang sama.
Frey cuma bisa tersenyum tipis. Berbagai pikiran buruk sudah memenuhi benaknya beberapa saat tadi. Membuang 'rasa percaya' sama saja dengan 'tidak percaya pada siapa pun'. Tapi nyatanya, ketiga temannya ini sama sekali tidak keberatan. Satu hal ini membuat Frey begitu nyaman, untuk yang pertama kalinya sejak 3 tahun yang lalu.