Saturday, January 26, 2008

Pieces of a Dream -- Day 2

Lagi - lagi lebam di badan Lexy bertambah. Bukan karena dipukuli orang rumah, tapi karena ia pergi ke lorong - lorong di sudut kota. Menantang preman di sana satu persatu. Dalam pertandingan satu lawan satu memang dia lebih unggul, karena ia sudah berlatih bela diri dari kecil, badannya juga tidak kecil - kecil amat. Tapi bahkan juara karate seperti dia pun, kalau dikeroyok lebih dari 10 orang pasti tidak akan luput dari memar.

Lexy membuang ludah bercampur darahnya ke selokan. Ia berhenti sebentar. Berusaha menghilangkan rasa pusing di kepalanya akibat dipukul dari belakang. Untung tidak ada darah yang mengucur, jadi tidak terlalu susah membuat alasan untuk orang rumah.

Hari ini untuk ke 5 kalinya ia bolos sekolah berturut - turut. Entah apa yang akan disampaikan Kepala Sekolah nya kali ini. Kemarin dulu saat ia bolos 3 hari berturut - turut, Kepsek nya itu datang ke rumah sambil marah - marah. Kontan saja, malamnya Lexy dikurung seharian di kamarnya tanpa boleh keluar 1 jengkal pun. Tapi tanpa sepengetahuan orang tuanya, Lexy memanjat keluar jendela dan kembali berkeliaran sampai pagi, dan membawa lebih banyak lebam di wajahnya.

Papa nya sudah angkat tangan, dan hanya menggeleng - gelengkan kepala. Sedangkan mama nya hanya bisa menangis setiap kali Lexy pulang membawa memar di seluruh tubuhnya. Lexy bukannya mencari perhatian, tapi ia sudah bosan dengan kehidupannya selama ini. Nilai - nilainya memang tidak jelek, terlalu bagus malah untuk seorang berandalan seperti dia. Selalu masuk 5 besar saat pembagian Laporan Hasil Belajar alias rapor. Dengan kondisi seperti itu, tentu saja orang tuanya tidak ada yang protes, kecuali untuk sikap jelek nya itu.

Cahaya bintang jatuh melintas di atas kepala Lexy. Tanpa rasa penasaran, Lexy melanjutkan langkahnya, kembali ke rumah. Jam tangannya sudah menunjukkan jam 2 pagi. Lexy tau, pasti papa nya masih duduk di ruang tamu, entah menonton acara TV yang tidak jelas, atau mungkin sudah setengah tertidur. Tapi malam itu, pemandangan lain menghiasi rumah kecilnya.

Papa mamanya duduk bersebelahan, kepala yang satu bersandar di bahu yang lain, dua - duanya tertidur dengan TV masih menyala. Perlahan, Lexy mengambil selimut dari kamarnya, dan diselimutkan ke badan keduanya. Lexy bukannya membenci mereka, tapi ia hanya bosan mendengarkan pertengkaran keduanya, yang saling menyalahkan satu sama lain atas sikap kasarnya. Baru kali ini Lexy melihat mereka begitu akrab, dan itu membuat nya senang.

Tapi niat nya sudah tidak bisa dibendung lagi. Malam itu Lexy akan pergi, pergi jauh dari rumahnya, dari tempatnya tinggal sekarang. Beberapa hari yang lalu, saat Lexy habis pulang dari sudut kota, sebuah pesan masuk di handphone nya. Memberitaukan hal aneh, yang membuat Lexy penasaran setengah mati.


Lexy menarik tas punggungnya yang sudah dikemas kemaren malam keluar dari lemari. Ia meninggalkan sepucuk surat di atas meja, kemudian memanjat turun dari jendela agar tidak membangunkan kedua orang tuanya. Seperti tau ke mana ia akan pergi, Lexy berlari cepat ke arah bukit belakang sekolah, tempat di mana bintang jatuh tadi mengarah.

Di sana, gumpalan asap bercampur sinar merah yang mengarah ke langit sudah memenuhi sebagian kaki bukit, membuat Lexy gampang menemukan apa yang dicari nya. Suara nyaring yang belum pernah didengarnya sangat memekakkan telinga. Tanpa ragu, Lexy menarik peluit panjang yang dikalungkannya, dan membuat nada yang menelan suara nyaring itu. Sambil terus berjalan, Lexy akhirnya menemukan lubang akibat bintang jatuh itu.

Sesosok makhluk mirip burung berwarna merah perak keluar dari lubang itu. Lexy baru pertama kali melihat hewan mirip burung phoenix itu, yang langsung terbang mengitari Lexy dari bawah sampai atas, sampai akhirnya bertengger di bahu Lexy.

Lexy memasukkan seruling nya lagi, sambil mengelus pelan kepala Phoenix kecil itu.

"Hai.. Kukira bakal makhluk seperti apa, ternyata lucu seperti kamu ya.."

Suara nyaring nya memenuhi bukit itu sekali lagi, dan Lexy yang membawanya seolah tidak mendengarnya sebagai suara yang sakit didengar, malah ia terlihat sangat tenang.

"Ayo kita pergi.." Lexy menuruni kaki bukit, berjalan menuju stasiun tempat jemputannya menunggu, meninggalkan kota tempat tinggalnya, meninggalkan keluarganya yang saat matahari mulai terbit itu, masih tertidur di ruang tengah dalam selimut yang diberikan Lexy tadi.


***

Lexy menyipitkan matanya yang silau terkena cahaya matahari. Ia masih menanti jemputannya di tempat yang dijanjikan di pesan sms yang diterimanya itu. Sementara Phoenix tanpa nama yang bertengger di bahunya menyusupkan kepalanya di antara bulu - bulunya yang halus, meninggalkan Lexy dalam tidur.

0 comments: