Wednesday, January 30, 2008

Point of No Return -- Week 2

Minggu ke-2.

Kelima bocah itu masih menempati penginapan tanpa nama itu.

Selama itu pula, kakek penunggu meja resepsionis sama sekali tidak terbangun, tetap dengan dengkuran kerasnya. Makanan bukan masalah yang susah, karena setiap pagi, siang dan malam, selalu ada banyak porsi di ruang makan penginapan itu. Entah siapa yang menyiapkan, tapi Mir mengaku pernah melihat wanita setengah baya yang berjalan ke arah dapur, tepat setelah makanan itu ada di atas meja.

Ren merasa bosan. Lexy cuek - cuek saja. Freya merasa senang. Mir selalu was - was. Sedangkan Frey selalu menyindir Freya betapa enaknya jika mereka pulang saja. Inuki, Phoenix dan Dino yang ikut bersama mereka juga tidak menunjukkan aktivitas selayaknya hewan lain. Selama seminggu ini ketiga nya hanya tidur melingkar, berdekatan satu sama lain, dan hanya terbangun saat pemilik masing - masing memberi makan.

Lexy yang memang usil, pernah suatu kali mengganggu Phoenix miliknya saat tidur. Tapi saat ditanya apa yang terjadi, Lexy hanya bungkam seribu bahasa. Ditanya seperti apa pun tetap tidak menjawab, seolah - olah hal itu tidak pernah terjadi.

"Jalan - jalan yuk!" ajak Freya sore itu sambil membawa Dino. Mir mengikuti ajakannya, Ren hanya menitipkan Inuki, dan Phoenix Lexy otomatis ikut serta. Frey ngotot mengikuti dari belakang, padahal Freya sudah menolak mati - matian, tapi akhirnya Frey mengikuti di belakang sambil memegang tali kekang Inuki.

Pertama kali datang, memang kota itu terlihat sangat luas. Tapi ternyata ada banyak jalan yang tidak bisa dilalui, entah karena jalannya tertimbun pepohonan, pavingan semen yang rusak berantakan, bahkan ada yang hanya dihalangi oleh petunjuk keselamatan : "Jangan melintas!". Karena tidak ada tujuan yang menarik, ketiga bocah itu menuju stasiun tempat mereka sampai.

Sunset Town memang kota yang aneh, waktu matahari terbenam terasa lama sekali, padahal biasanya hanya 1 jam, tapi di Sunset bisa 5 - 6 jam, baru langit menjadi gelap.

Stasiun Harrington masih tetap sepi seperti saat mereka datang dulu. Tidak ada tanda - tanda kehidupan sama sekali. Kereta hitam mereka masih berdiri kokoh di sana. Pemandangan baru bagi mereka, kali ini ada sosok masinis yang berdiri tegap di depan kepala gerbong. Topi beret dengan jas hitam sampai ke kaki. Berdiri memandangi kereta hitam di depannya tanpa suara.

Tuesday, January 29, 2008

Point of No Return -- Week 1

Hanya butuh beberapa jam dari kota tempat kereta besar itu menjemput Freya dan Frey, untuk sampai di tempat tujuan. Muncul dari tengah kabut, kereta itu membuat ke lima bocah di dalam gerbong untuk melihat pemandangan yang asing sama sekali. Dibilang kota terpencil juga bukan, karena stasiun tempat kereta itu berhenti bisa dibilang mewah.

Yang aneh, stasiun itu sepi, tanpa ada orang sama sekali, dan satu - satunya kereta adalah yang mereka tumpangi. Dengan ragu - ragu Ren keluar dari gerbong. Di atas tampak papan bertuliskan :

"Welcome to Sunset Town"
"--Harrington Station--"

Frey menguntit Freya tepat di belakang, sementara Freya masih belum mau melepaskan pegangan tangannya pada lengan baju Lexy. Yang dipegangi hanya terlihat cuek, sambil sesekali melambaikan tangannya agar phoenix kecil di sebelahnya tidak ngeluyur ke mana - mana.

Kereta hitam itu tetap berada di rel stasiun. Mir yang penasaran, menuju gerbong depan dan panik sendiri karena tidak ada masinis yang mengendalikan kereta itu. Yang lain hanya mengangkat bahu, seolah - olah itu bukan hal yang aneh.

Karena di sana tidak ada apa - apa, mereka memutuskan untuk keluar dari stasiun, mencari tau di kota seperti apa mereka sekarang. Hal pertama yang dilakukan Freya adalah melepaskan lengan baju Lexy dan berlarian ke tengah pusat kota, di mana ada air mancur kecil. Sama sekali bukan kota yang luar biasa, sangat biasa malah, tapi ukurannya itu yang luar biasa besar. Dari pintu depan stasiun bisa dilihat seluruh kota dari ujung ke ujung.

Matahari senja menghiasi pemandangan kota yang terkesan putih, bersih, dan nyaman itu. Dengan sedikit nekad, Frey memimpin barisan itu menuju tempat yang dikiranya adalah penginapan. Di depan bangunan yang mirip gereja tua itu, terpampang tulisan "INN" yang diukir di atas kayu panjang.

"Permisi.." Frey mendekati meja yang mirip resepsionis. "Apa masih ada kamar?"

Yang duduk di meja itu tidak menoleh. Mir dan Freya sudah berdekatan satu sama lain, membayangkan hal - hal seram yang biasa mereka lihat di film horor. Tapi dengkuran keras membuat mereka lega. Dengan memberanikan diri, kali ini giliran Ren yang berbicara.

"Permisi..! Kami mau menyewa kamar..!"

Tapi usahanya percuma saja. Kakek - kakek yang tertidur di kursi itu sama sekali tidak terbangun, bergeming saja tidak. Karena kesal, Lexy langsung saja naik ke lantai atas penginapan itu. Di atas ternyata ada 10 kamar lebih. Tanpa bertanya lebih lanjut, langsung saja Lexy memasuki kamar yang walaupun kecil itu, terlihat sangat nyaman dengan tempat tidur berseprei biru.

Frey muncul di ujung tangga, dengan Ren di belakangnya, diikuti Mir dan Freya yang tidak mau dekat - dekat dengan saudara kembar nya itu.

"Memangnya boleh ya tanpa ijin begini?" gumam Frey.

"Kita sudah ijin kan? Kakek itu saja yang tidak bangun - bangun.. Lagian kita sudah naik kereta itu berjam - jam, aku capek.."

"Hmm.. ya sudah lah... sementara kita pinjam dulu kamar - kamar ini. Yang lain, OK?"

"Ngomong - ngomong, kita belum kenalan ya? Nama ku Ren." Yang langsung mengulurkan tangannya ke arah Frey.

"Oh, aku Frey. Yang lagi ngambek di sana itu Freya, saudara kembarku."

"Ini Mir, kakak tiriku, yang ini Inuki," Ren menunjuk serigala biru yang duduk manis di sebelah kakinya.

"Hei, yang tidur di sana..!"

"Lexy.." gumam bocah yang sudah menggelepar setengah tidur di atas tempat tidur itu.

"Dasar bocah.. OK, kita istirahat dulu deh, dah..!"

Dan keempat bocah lainnya memasuki kamar - kamar di sebelah kamar Lexy. Mencoba mengistirahatkan diri dari perjalanan panjang mereka.

Monday, January 28, 2008

Pieces of a Dream -- Last Day

Kereta api dengan suara 'oooooooongggg' panjang menghampiri stasiun tempat Ren memeluk lututnya, masih tertidur. Inuki di sebelahnya kontan menyenggol kepala Ren agar yang di sebelahnya segera bangun. Ren menegakkan kepalanya. Wajahnya terlihat sangat senang. Segera ia menaiki kereta di depannya, walaupun tidak tau ia akan sampai di mana.

Suara ribut di luar membuatnya menolehkan kepalanya. Orang rumahnya, mama dan kakak tirinya, sedang berlari mengejar kereta yang mulai melaju.

"REN!! Kembali kamu!! Dasar anak tidak tau diri!!" seru mamanya. Ren hanya menatap wanita itu tanpa jawaban.

"Hei bocah!!" Kali ini Mir, kakak perempuannya ganti berteriak.

"Kalian pulang saja!" seru Ren. Tapi dengan sedikit nekad, Mir berhasil naik ke dalam kereta. Mamanya berteriak histeris memanggil Mir, tapi yang dipanggil hanya melengos. Ren masih terbengong - bengong melihat Mir yang sudah berdiri di depannya sambil terengah - engah.

"Mikir apa kau?!" geram Mir. "Aku khawatir setengah mati tau! Ayo turun!"

Ren hanya terdiam, Inuki di sebelahnya mulai menggeram pelan.

"Jangan bilang kau kabur hanya karena binatang itu!"

"Aku memang ingin pergi! Sudah dari dulu aku ingin keluar dari rumah!"

"Memangnya kau pikir cuman kau saja yang mau?!"

Kereta itu sudah melaju kencang sekarang. Meninggalkan mama Ren dan Mir yang hanya berdiri terpaku melihat kedua anaknya menaiki kereta yang hilang ditelan kabut. Bahkan mamanya tidak yakin kalau ada masinis yang mengendalikan kereta itu.


***

Lexy termangu melihat kereta hitam besar di hadapannya. Phoenix di sebelahnya sudah menghambur masuk sebelum sempat dihentikan. Lexy mau tak mau langsung menyusulnya. Di dalam, Mir dan Ren masih duduk berhadapan satu sama lain, tanpa bicara satu sama lain. Merasakan ada aura yang mengerikan di sana, Lexy memilih duduk di gerbong lain.

Tempat duduknya lebar dan empuk, mau tak mau Lexy langsung merebahkan tubuhnya yang memang butuh istirahat itu. Pikiran tentang kedua orang tuanya melayang hilang begitu saja, seolah dari awal mereka memang tidak ada hubungan dengannya.


Ribut - ribut di gerbong sebelah membuatnya membuka mata. Lagi - lagi Mir dan Ren bertengkar. Entah apa yang dibahasnya, tapi Lexy malas ikut campur. Sebelum berbalik masuk ke gerbongnya, Lexy melihat 2 sosok orang yang sangat dikenalinya. Mama dan papanya, bergandengan tangan, sibuk mencari dari satu gerbong ke gerbong lain. Lexy secara reflek merendahkan badannya sampai tidak terlihat.

Teriakan mamanya membuat Ren di gerbong sebelah mendatangi Lexy.

"Hei, mereka mencari mu tuh."

"Tau dari mana kalau aku yang dicari?" jawab Lexy cuek.

"Ya sudah kalau gak mau.." Ren langsung kembali ke gerbongnya.

Kereta mulai melaju, pelan, kemudian bertambah cepat. Dari jendela, Lexy bisa melihat mama nya sedang menangis, sementara papa nya berusaha menghibur. Entah sedang kesambet apa, Lexy langsung menjulurkan kepalanya.

"Ma! Pa! Aku pergi dulu!" Kedua orang tuanya hanya terpana. Papa nya kemudian melambaikan tangannya, diikuti oleh mama nya yang masih menangis tidak karuan. "Jangan khawatir! Aku pasti pulang! Mama dan Papa baik - baik ya!"

"Hati - hati, nak..!" seruan Papa nya kemudian hilang ditelan suara cerobong kereta yang makin keras..


***

"Freya! Mau ke mana kau ini?!"

"Bukan urusan mu kan Frey?! Sudah kau pulang saja!"

"Heh, pergi tanpa pamit, untung insting ku bagus, jadi bisa mengejarmu sampai sini! Sekarang ayo ikut pulang!"

"Gak mau!!!" Freya menarik tangannya. Dino kecil di sebelahnya hanya termangu bingung.

"Sudah, kalau dia tidak mau pulang, biarkan saja.." Lexy melongokkan kepalanya.

"Heh, jangan ikut campur ka - FREYA!!"

Yang dipanggil sudah ngacir masuk ke dalam gerbong kereta, sambil menahan gagang pintu. Frey terlihat geram, sambil memandang Freya yang tidak berani menatap balik mata kakak kembarnya itu.

Frey tanpa ambil pusing, masuk dari pintu gerbong belakang, dan berdiri di hadapan Freya.

"Kalau kau pergi, aku juga ikut."

"Jangan ikut - ikutan dong!" Freya yang duduk di samping Lexy langsung memegang lengan baju Lexy seolah minta dukungan. Frey tambah geram. Ia hanya bisa duduk di depan Freya sambil terus menatapnya, dan Lexy yang terbengong - bengong padahal ia tidak tau apa - apa.

Mir mengintip ke gerbong Lexy dkk, dan hanya geleng - geleng.

"Kau juga tadi berisik kan.." sindir Lexy, membuat Mir langsung menghampirinya dan menjitak kepalanya. "Aduh!"

"Apa sih dari tadi.." Ren kali ini muncul membawa Inuki yang mengekor di belakangnya.

"Terserah kau!" seru Freya menahan air mata. Mir tanpa babibu, menepuk kepala Freya, mencoba menenangkan. Frey dan Ren hanya berpandangan.

Beberapa menit kemudian, cerobong kembali berbunyi 'woooooonngggggg' keras. Siap meninggalkan stasiun terakhir..

Sunday, January 27, 2008

Pieces of a Dream -- Day 3

Pesan sms itu membangunkan Freya. Rambut sebahu nya acak - acakan. Dengan setengah malas, ia membuka pesan di handphone nya itu. Tanpa tertarik sedikitpun, ia melemparkan handphone nya ke tumpukan baju di sebelah tempat tidurnya.

"Non..! Ayo bangun..! Sudah pagi..!"

Ketokan di kamar membuat Freya menggerutu keras, sampai yang mengetok pun sedikit takut, dan langsung meninggalkan kamar Freya itu. Sedikit ogah - ogahan, Freya bangun juga menuju kamar mandi sambil menarik baju seragamnya dari kursi.

Kehidupan Freya jauh dari yang namanya kemiskinan. Rumahnya terletak di kawasan elit, dan termasuk salah satu rumah terbesar di kompleks nya. Papa nya bekerja sebagai kontraktor, sedang mama nya adalah seorang pengacara terkenal yang selalu memenangkan client yang didampinginya. Freya bukan anak tunggal. Malah sebenarnya ia adalah anak kembar. Saudara kembar nya yang satu adalah cowo bernama Frey, yang walaupun berumur sama, tapi kecerdasannya melebihi anak - anak seumur nya. Jika saat ini Freya masih berkutat di SMA, bersiap - siap menghadapi Ujian Nasional, maka Frey sudah tinggal menyelesaikan kuliah nya di Jepang, tepatnya Tokyo University, dengan jurusan Psikologi.

Sebenarnya Frey bisa saja mengambil jurusan kedokteran yang lebih susah, tapi ia ingin kuliah yang cepat selesai, biar bisa langsung kerja. Benar saja, kuliah nya yang seharusnya memakan waktu 2 setengah taun, hanya dikejar dalam waktu 1 setengah taun, dan saat ini Frey sedang sibuk mengerjakan skripsi, yang menurut Freya sudah selesai tapi diteliti terus oleh kembarannya itu.

Freya tidak sepintar Frey, tapi dalam hal olahraga, jangan ditanya, Freya jago nya. Senam lantai, bela diri, bahkan sepakbola dan baseball, semuanya dikuasai Freya dengan cepat. Tapi kalau sudah menyangkut pelajaran, maka Freya bukannya bodoh, tapi malas. Sehingga nilainya selalu pas - pas an, dan entah disengaja atau tidak, nilai Freya selalu pas 1 angka di atas nilai minimal. Pernah suatu waktu Frey menantang Freya, bisa atau tidak dia mendapat nilai 100 di semua mata pelajaran saat Ujian Kenaikan Kelas. Dan terbukti Freya memang bukan omong besar doang, semua mata pelajaran, kecuali kesenian tentunya, mendapat nilai 100. Dalam hal kesenian, memang malas Freya sudah keterlaluan, jadi ia hanya membuat sekenanya tanpa susah - susah mikir mau membuat apa.


Freya duduk di dalam mobil, sambil masih memandangi isi sms yang membuat nya melemparkan handphone kesayangan nya itu ke tumpukan baju. Untung tidak rusak, kalau cuil sedikit saja mungkin Frey bisa mencak - mencak tidak karuan, karena handphone itu kembaran dengan punya nya.

Isi sms itu biasa saja, bahkan tidak ada yang aneh atau mesum. Tapi karena isi yang biasa itu lah Freya menjadi penasaran.

"Do you want a piece of your dreams to return?"
"Don't miss your chance!"
"Search out for the shooting star the next day you receive this sms."
"Don't forget to sing for it!"
"Prepare yourself for the journey.
Remember, this is a one way ticket, so no returning home is given.
Your companion will pick you up on the nearest station in your town.
This is a no turning point of your life."
"Do you wanna come?"
"Yes or No"

Sudah kesekian kalinya Freya menerima sms seperti itu. Entah dari temannya yang iseng, atau dari orang tak dikenal yang penasaran dengan jati dirinya yang dibilang misterius. Tapi karena pagi itu Freya lagi bete gak jelas, dibalasnya juga sms itu.

"Yes."

***


Malamnya, Freya tidak bisa tidur. Kejadian di sekolah tadi membuat mood nya bertambah buruk. Gerombolan cewek nakal di kelasnya entah kenapa lagi - lagi mencari perkara. Hanya masalah sepele, pensil salah satu dari mereka jatuh di dekat meja Freya, tapi Freya tidak mau mengambilkannya, membuat mereka langsung saja mengobrak abrik meja Freya. Tentu saja yang diusili tidak tinggal diam. Tanpa babibu, kepalan tangan Freya bersarang di pipi ketua gerombolan itu. Kontan saja, murid lain yang takut pada mereka, menyalahkan Freya saat dimintai keterangan oleh Guru yang bertugas.

Suara 'suuuuut' pelan membuat Freya menolehkan kepalanya ke arah jendela. Bintang jatuh di sms yang tadi diterimanya muncul. Tanpa berpikir lebih lanjut, Freya mengepak baju seadanya. Tas ransel merah ditentengnya menuruni jendela kamarnya. Secarik kertas bertuliskan "Aku pergi sebentar." nangkring di meja belajarnya.

Freya berlari menuju ke pinggiran hutan di dekat stasiun kereta api, tempat di mana bintang jatuh itu kira - kira mendarat. Tidak sulit menemukan yang dicari. Hutan itu kecil, dan tempat mendarat bintang jatuh itu hanya maju sedikit dari tempat masuk. Cahaya hijau membelah langit tanpa bintang malam itu.

Makhluk mirip dino berekor panjang berwarna hijau daun itu muncul dari lubang berdiameter 4m itu. Mengingat isi sms nya, Freya melantunkan lagu favoritnya, yang cocok dengan bulan purnama yang muncul saat itu : "Full Moon Sway". Dino di depannya mengeluarkan rintihan halus yang seperti memberikan musik ke lagu Freya.

Beberapa menit kemudian, Freya dan dino itu sudah duduk di kursi stasiun, menunggu jemputan yang dikabarkan.

Saturday, January 26, 2008

Pieces of a Dream -- Day 2

Lagi - lagi lebam di badan Lexy bertambah. Bukan karena dipukuli orang rumah, tapi karena ia pergi ke lorong - lorong di sudut kota. Menantang preman di sana satu persatu. Dalam pertandingan satu lawan satu memang dia lebih unggul, karena ia sudah berlatih bela diri dari kecil, badannya juga tidak kecil - kecil amat. Tapi bahkan juara karate seperti dia pun, kalau dikeroyok lebih dari 10 orang pasti tidak akan luput dari memar.

Lexy membuang ludah bercampur darahnya ke selokan. Ia berhenti sebentar. Berusaha menghilangkan rasa pusing di kepalanya akibat dipukul dari belakang. Untung tidak ada darah yang mengucur, jadi tidak terlalu susah membuat alasan untuk orang rumah.

Hari ini untuk ke 5 kalinya ia bolos sekolah berturut - turut. Entah apa yang akan disampaikan Kepala Sekolah nya kali ini. Kemarin dulu saat ia bolos 3 hari berturut - turut, Kepsek nya itu datang ke rumah sambil marah - marah. Kontan saja, malamnya Lexy dikurung seharian di kamarnya tanpa boleh keluar 1 jengkal pun. Tapi tanpa sepengetahuan orang tuanya, Lexy memanjat keluar jendela dan kembali berkeliaran sampai pagi, dan membawa lebih banyak lebam di wajahnya.

Papa nya sudah angkat tangan, dan hanya menggeleng - gelengkan kepala. Sedangkan mama nya hanya bisa menangis setiap kali Lexy pulang membawa memar di seluruh tubuhnya. Lexy bukannya mencari perhatian, tapi ia sudah bosan dengan kehidupannya selama ini. Nilai - nilainya memang tidak jelek, terlalu bagus malah untuk seorang berandalan seperti dia. Selalu masuk 5 besar saat pembagian Laporan Hasil Belajar alias rapor. Dengan kondisi seperti itu, tentu saja orang tuanya tidak ada yang protes, kecuali untuk sikap jelek nya itu.

Cahaya bintang jatuh melintas di atas kepala Lexy. Tanpa rasa penasaran, Lexy melanjutkan langkahnya, kembali ke rumah. Jam tangannya sudah menunjukkan jam 2 pagi. Lexy tau, pasti papa nya masih duduk di ruang tamu, entah menonton acara TV yang tidak jelas, atau mungkin sudah setengah tertidur. Tapi malam itu, pemandangan lain menghiasi rumah kecilnya.

Papa mamanya duduk bersebelahan, kepala yang satu bersandar di bahu yang lain, dua - duanya tertidur dengan TV masih menyala. Perlahan, Lexy mengambil selimut dari kamarnya, dan diselimutkan ke badan keduanya. Lexy bukannya membenci mereka, tapi ia hanya bosan mendengarkan pertengkaran keduanya, yang saling menyalahkan satu sama lain atas sikap kasarnya. Baru kali ini Lexy melihat mereka begitu akrab, dan itu membuat nya senang.

Tapi niat nya sudah tidak bisa dibendung lagi. Malam itu Lexy akan pergi, pergi jauh dari rumahnya, dari tempatnya tinggal sekarang. Beberapa hari yang lalu, saat Lexy habis pulang dari sudut kota, sebuah pesan masuk di handphone nya. Memberitaukan hal aneh, yang membuat Lexy penasaran setengah mati.


Lexy menarik tas punggungnya yang sudah dikemas kemaren malam keluar dari lemari. Ia meninggalkan sepucuk surat di atas meja, kemudian memanjat turun dari jendela agar tidak membangunkan kedua orang tuanya. Seperti tau ke mana ia akan pergi, Lexy berlari cepat ke arah bukit belakang sekolah, tempat di mana bintang jatuh tadi mengarah.

Di sana, gumpalan asap bercampur sinar merah yang mengarah ke langit sudah memenuhi sebagian kaki bukit, membuat Lexy gampang menemukan apa yang dicari nya. Suara nyaring yang belum pernah didengarnya sangat memekakkan telinga. Tanpa ragu, Lexy menarik peluit panjang yang dikalungkannya, dan membuat nada yang menelan suara nyaring itu. Sambil terus berjalan, Lexy akhirnya menemukan lubang akibat bintang jatuh itu.

Sesosok makhluk mirip burung berwarna merah perak keluar dari lubang itu. Lexy baru pertama kali melihat hewan mirip burung phoenix itu, yang langsung terbang mengitari Lexy dari bawah sampai atas, sampai akhirnya bertengger di bahu Lexy.

Lexy memasukkan seruling nya lagi, sambil mengelus pelan kepala Phoenix kecil itu.

"Hai.. Kukira bakal makhluk seperti apa, ternyata lucu seperti kamu ya.."

Suara nyaring nya memenuhi bukit itu sekali lagi, dan Lexy yang membawanya seolah tidak mendengarnya sebagai suara yang sakit didengar, malah ia terlihat sangat tenang.

"Ayo kita pergi.." Lexy menuruni kaki bukit, berjalan menuju stasiun tempat jemputannya menunggu, meninggalkan kota tempat tinggalnya, meninggalkan keluarganya yang saat matahari mulai terbit itu, masih tertidur di ruang tengah dalam selimut yang diberikan Lexy tadi.


***

Lexy menyipitkan matanya yang silau terkena cahaya matahari. Ia masih menanti jemputannya di tempat yang dijanjikan di pesan sms yang diterimanya itu. Sementara Phoenix tanpa nama yang bertengger di bahunya menyusupkan kepalanya di antara bulu - bulunya yang halus, meninggalkan Lexy dalam tidur.

Monday, January 21, 2008

Pieces of a Dream -- Day 1

Lintasan bintang jatuh menyinari langit malam itu.

Suara 'gedebum' berikutnya tampaknya tidak membuat segerombolan orang di dekat sana merasa takut dan menyingkir.

Gumpalan asap mulai keluar dari lubang yang disebabkan oleh bintang jatuh itu.

Cahaya biru terang menerangi gumpalan asap itu, seperti sedang membukakan jalan untuk sesuatu yang akan keluar dari lubang berdiameter 4m itu. Benar saja, lolongan seperti serigala mengiringi hilangnya asap yang digantikan sinar biru yang memancar lurus sampai ke langit - langit.

Ren mendekati arah suara itu. Sambil duduk di pinggiran lubang, ia mulai memainkan harmonika nya. Melantunkan lagu yang senada dengan gaung lolongan panjang yang memecah keheningan malam.

"Sini...!"

Sesosok makhluk mirip serigala berbulu biru tua, muncul perlahan mengikuti panggilan Ren. Bukan hewan yang menakutkan, karena ukurannya masih sangat kecil, persis seperti anak anjing yang baru berusia 1 bulan. Ren melanjutkan permainan harmonika nya. Serigala kecil itu menghampiri Ren, duduk di depan Ren, dan sekali lagi menggaungkan lolongan yang panjang.


***


Ren mengendap - endap memasuki rumah nya. Ia takut menimbulkan suara, karena sudah hampir subuh, tapi dia baru saja pulang. Pasti orang rumah akan berteriak lagi padanya, "Jangan pulang saja sekalian!" jika mereka memergoki Ren.

Sampai dengan selamat di kamarnya, Ren mengeluarkan serigala biru tadi dari dalam kaosnya. Karena mirip dengan anjing setengah serigala, maka Ren menamainya Inuki, artinya serigala langit. Ren sudah menantikan hari ini, hari di mana Inuki akan datang. Jika Inuki sudah datang kepadanya, maka sudah waktunya ia pergi dari rumah bobrok ini. Tapi ia bingung, bagaimana cara memberitau orang rumah.

Pergi mengendap - endap memang tidak baik, tapi jika izin pun belum tentu ia boleh pergi. Jadi Ren berniat meninggalkan sepucuk surat agar dia tidak dicap sebagai anak kurang ajar yang pergi tanpa pamit. Setelah menetapkan hal itu, Ren segera mengepak barang - barangnya. Tas biru besar sudah disiapkan di bawah tempat tidurnya, tinggal diisi saja.

Selesai mengepak, menulis surat dan lainnya, Ren melihat ke arah jam tangannya. Jam 4 pagi. Sebentar lagi matahari terbit, jadi sebaiknya sebelum itu ia sudah berada jauh dari sini. Dengan mengendap - endap, Ren lagi - lagi memasukkan Inuki ke dalam kaosnya sambil keluar dari kamarnya, keluar dari rumah bobrok itu.

Jam 5.30.

Matahari mulai muncul. Ren berbalik sebentar, mengamati rumah yang baru saja ditinggalkannya. Impiannya dari kecil kini terkabul sudah : pergi meninggalkan rumah tempat ia dibesarkan, ke tempat lain, ke kota lain, atau mungkin ke negara lain, yang penting bukan lagi di sini. Ren ingin pergi, ke tempat di mana ia seharusnya berada.

First Time!

yahuuuuu xD

ngelanjutin blog yg di yahoo, jadi pengen bikin yg blogger hueheuheu

dulu udh pernah ada tp karena gak kepake jd nya lupa ^^;


moga2 yg ini diupdate terus d.


udh ah, sgini dulu :D Cao!